Jadi Agen Asuransi Prudential ?
Mengapa Tidak ?
Jadi Agen Asuransi Prudential ?
Mengapa Tidak ?
VOGACARE
Financial Planning Series
Warisan untuk Pasangan Beda Agama? Hati-Hati, Bisa Jadi Tidak Dapat Apa-Apa!
Senior Business Partner
Anggraini

Perkawinan beda agama di Indonesia kerap menghadapi berbagai tantangan, salah satunya dalam hal pewarisan. Berdasarkan hukum Islam, perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris dapat menjadi penghalang dalam pembagian warisan. Sementara itu, hukum perdata Indonesia memberikan mekanisme lain yang memungkinkan pewarisan tetap dilakukan.
Bagaimana aturan hukum terkait pewarisan bagi pasangan beda agama? Apakah ada solusi legal yang dapat digunakan agar pasangan tetap memperoleh hak atas harta peninggalan? Artikel ini akan mengupas dasar hukum, kendala, dan solusi bagi pasangan beda agama dalam sistem waris di Indonesia.

Anggraini
Senior Business Partner
1. Dasar Hukum Waris dalam Islam dan Perdata
Pewarisan di Indonesia diatur dalam beberapa sistem hukum, yaitu hukum Islam, hukum perdata, dan hukum adat. Bagi umat Muslim, hukum waris Islam menjadi rujukan utama, sebagaimana tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sementara itu, bagi yang tidak tunduk pada hukum Islam, pewarisan dapat mengikuti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
a. Hukum Waris Islam: Perbedaan Agama Menghalangi Pewarisan
Dalam hukum Islam, terdapat ketentuan yang melarang pewarisan antara Muslim dan non-Muslim. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW:
"Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi seorang Muslim."
(HR. Bukhari & Muslim)
Ketentuan ini diperkuat dalam Pasal 171 huruf c KHI, yang menyatakan bahwa:
"Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang hukum untuk menjadi ahli waris."
Dari aturan ini, pasangan beda agama, khususnya jika salah satu pasangan beragama Islam dan yang lain tidak, dapat terhalang untuk saling mewarisi.
b. Hukum Perdata: Tidak Ada Pembatasan Berdasarkan Agama
Berbeda dengan hukum Islam, KUH Perdat tidak membatasi pewarisan berdasarkan agama. Pasal 852 KUH Perdata menyatakan bahwa ahli waris utama adalah suami/istri yang hidup lebih lama dan anak-anak pewaris.
Dengan demikian, pasangan beda agama yang menikah secara sah menurut hukum negara dapat tetap saling mewarisi berdasarkan hukum perdata.
Namun, kendalanya adalah bagi pasangan Muslim yang ingin menggunakan sistem hukum Islam, mereka harus mencari alternatif lain agar pasangan beda agama tetap dapat menerima harta peninggalan.
2. Kendala Hukum dalam Pewarisan Pasangan Beda Agama
a. Tidak Bisa Mewaris Berdasarkan Hukum Islam
Bagi Muslim yang tunduk pada hukum waris Islam, pasangan yang berbeda agama tidak termasuk dalam kategori ahli waris yang sah. Hal ini berarti suami atau istri yang berbeda agama tidak otomatis mendapatkan hak warisan.
b. Potensi Sengketa Keluarga
Dalam banyak kasus, warisan menjadi sumber konflik dalam keluarga. Jika pasangan beda agama tidak mendapatkan bagian secara hukum Islam, ahli waris lainnya (seperti anak atau saudara pewaris) dapat menggugat pembagian harta tersebut, terutama jika pewaris Muslim tidak membuat pengaturan hukum sebelumnya.
c. Tidak Bisa Menggunakan Hukum Perdata Jika Pernikahan Tidak Dicatatkan
Pasangan beda agama yang menikah tanpa pencatatan resmi di Indonesia (misalnya, menikah di luar negeri tanpa mencatatkan pernikahan di Indonesia) akan menghadapi kendala hukum dalam hal warisan. Sebab, hanya pasangan yang sah menurut hukum yang diakui sebagai ahli waris dalam KUH Perdata.
3. Solusi Hukum untuk Pewarisan Pasangan Beda Agama
Agar pasangan beda agama tetap dapat memperoleh bagian dari harta peninggalan pewaris, terdapat beberapa solusi hukum yang dapat digunakan:
a. Hibah Semasa Hidup
Hibah adalah pemberian harta kepada pihak lain yang dilakukan saat pewaris masih hidup. Hibah lebih aman karena tidak dapat digugat setelah sah diberikan. Dalam hukum Islam, hibah diperbolehkan kepada siapa saja, termasuk kepada pasangan beda agama.
Syarat hibah:
-
Dibuat dalam bentuk akta hibah di hadapan notaris.
-
Tidak dapat dibatalkan setelah diberikan.
-
Berlaku segera tanpa menunggu pewaris meninggal dunia.
b. Wasiat Wajibah
Jika hibah tidak dilakukan, alternatif lain adalah wasiat wajibah. Pasal 195 KHI memungkinkan seseorang memberikan wasiat kepada pihak yang tidak berhak menerima warisan, termasuk pasangan beda agama.
Ketentuan wasiat wajibah:
-
Maksimal 1/3 dari total harta warisan, kecuali ahli waris lainnya menyetujui lebih dari itu.
-
Harus dituangkan dalam surat wasiat yang sah.
-
Dapat diajukan ke pengadilan jika ada sengketa.
c. Membuat Perjanjian Harta Bersama
Pasangan beda agama dapat membuat perjanjian harta bersama (perjanjian pranikah atau pascanikah) untuk mengatur kepemilikan harta selama pernikahan dan setelah salah satu pihak meninggal dunia.
Keuntungan perjanjian harta bersama:
-
Mengatur kepemilikan harta secara adil bagi pasangan beda agama.
-
Menghindari konflik hukum setelah salah satu pasangan meninggal dunia.
-
Bisa digunakan sebagai dasar hukum untuk kepemilikan harta bersama.
d. Menetapkan Ahli Waris dalam Surat Wasiat Notaris
Jika pasangan beda agama ingin memastikan hak warisnya, mereka dapat membuat surat wasiat di hadapan notaris. Wasiat ini akan mengikat secara hukum dan menjadi dasar bagi pasangan untuk menerima harta peninggalan setelah pewaris meninggal dunia.
Kesimpulan
-
Hukum Islam melarang pewarisan antara pasangan beda agama, sedangkan hukum perdata mengizinkan pewarisan tanpa melihat agama.
-
Pasangan beda agama yang menikah secara sah menurut hukum negara dapat menggunakan KUH Perdata dalam pewarisan.
-
Terdapat beberapa solusi hukum untuk memastikan pasangan beda agama tetap mendapatkan harta peninggalan, seperti hibah, wasiat wajibah, perjanjian harta bersama, dan surat wasiat notaris.
Bagi pasangan yang menghadapi kendala dalam pewarisan karena perbedaan agama, konsultasi dengan notaris atau ahli hukum sangat disarankan agar hak-hak mereka dapat terlindungi sesuai dengan hukum yang berlaku.